SURABAYA – Kasus dugaan pemalsuan akta perubahan Yayasan Dorowati dengan terdakwa Notaris Dadang Koesboediwitjaksono semakin terang benderang. Pihak keluarga pelapor akhirnya angkat bicara mengenai duduk perkara yang terjadi.
Menurut juru bicara keluarga, Nurcholis, permasalahan utama bukanlah pada akta yang dibuat saat Kyai Abdullah Satar dan Kyai Abdullah Majid masih hidup. Yang dipersoalkan adalah akta perubahan yang terbit pada tahun 2011 dengan nomor 34 dan 63, di mana dalam akta tersebut tertulis bahwa kedua tokoh tersebut masih menghadap, padahal mereka telah meninggal dunia pada tahun 2010.
“Faktanya, mereka sudah meninggal. Kalau orang sudah meninggal, apakah masih bisa tanda tangan?” ujar juru bicara keluarga. Selasa (18/2/2025).
Awal Mula Permasalahan
Yayasan Dorowati didirikan oleh keluarga pelapor pada tahun 1982 dan kemudian dilanjutkan oleh Kyai Abdullah Satar hingga wafatnya. Pada tahun 2008, saat Kyai Abdullah Satar dan Kyai Abdullah Majid sudah sakit-sakitan, beberapa tugas operasional yayasan mulai dipercayakan kepada para santri yang dekat dengan mereka.
Namun, di tahun yang sama, seorang notaris yang juga santri dari Kyai AbdullJ Satar, membuat yayasan baru bernama Yayasan Pendidikan Dorowati Surabaya. “Dalam akta tahun 2008 nomor 157, terdapat renvoi yang mengubah nama Yayasan Pendidikan Dorowati menjadi Yayasan Pendidikan Dorowati Surabaya,” jelas juru bicara keluarga.
Karena kepercayaan yang tinggi kepada para santrinya, keluarga awalnya mengira perubahan yang terjadi hanya sebatas pergantian susunan pengurus, bukan pembentukan yayasan baru. Sejak saat itu, tanpa sepengetahuan keluarga, terdapat dua yayasan yang berjalan beriringan.
Pemalsuan Akta Perubahan Tahun 2011
Masalah semakin pelik ketika pada tahun 2011, setelah Kyai Abdullah Satar dan Kyai Abdullah Majid wafat, terbitlah akta perubahan dengan nomor 34 dan 63 yang mencantumkan kedua tokoh tersebut masih menghadap.
“Ini yang dipersoalkan. Kenapa dalam akta tersebut mereka masih tertulis seolah-olah masih hidup?” kata juru bicara keluarga.
Lebih lanjut, pihak keluarga menegaskan bahwa bukan hanya masalah tanda tangan yang dipersoalkan, melainkan fakta bahwa akta perubahan tersebut mencantumkan orang yang telah meninggal dunia sebagai pihak yang menghadap.
Laporan Polisi dan Imbas Terhadap Sekolah
Kasus ini telah dilaporkan ke kepolisian dengan terdakwa utama Notaris Dadang Koesboediwitjaksono dkk dan beberapa pihak lain yang terlibat. “Tentu dia tidak bekerja sendiri. Siapa saja temannya, itu ranah penyelidikan lebih lanjut,” ujar juru bicara keluarga.
Persoalan ini baru terungkap pada tahun 2017, setelah keluarga mengetahui adanya dua yayasan. Imbasnya, izin operasional sekolah dibekukan hingga hari ini, menyebabkan sekolah tidak bisa berjalan dan akhirnya tutup.
“Sekolahnya tidak jalan, bisa dicek langsung ke lokasi,” pungkasnya.
Kasus ini terus bergulir, dan keluarga pelapor berharap agar keadilan dapat ditegakkan serta hak-hak yang sah dapat dikembalikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. (firman)