Jakarta — Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono (BHS), menegaskan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan hanya tanggung jawab Badan Gizi Nasional (BGN) semata. Menurutnya, seluruh lembaga terkait mulai dari Badan Pangan Nasional (Bapanas), Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga Satgas Pangan harus ikut dilibatkan untuk menjamin mutu, kualitas, dan nilai gizi pangan yang disalurkan kepada masyarakat.

BHS menyebut, hingga saat ini MBG sudah menjangkau 20 juta penerima dari target 82,9 juta. Program ini melibatkan 6.000 dapur di 38 provinsi. Di wilayah ring 1 Jawa Timur Surabaya, Gresik dan Sidoarjo sebagian besar dikelola oleh UMKM di bawah naungan Asosiasi Perusahaan Jasa Boga Indonesia (APJI). Serapan tenaga kerja yang tercipta dari program ini mencapai hampir 300 ribu orang.

“Ini pekerjaan besar, dampaknya luar biasa bagi perekonomian sekaligus cita-cita Presiden Prabowo Subianto untuk menyiapkan generasi bangsa yang sehat, pintar, dan kuat menghadapi bonus demografi 2036,” ujar BHS.

Namun, ia mengingatkan masih terdapat persoalan di lapangan. Dari 20 juta penerima, tercatat sekitar 6 ribu kasus gangguan distribusi pangan sejak MBG berjalan pada Februari hingga Agustus lalu. Menurut BHS, hal ini harus dijadikan evaluasi serius, terutama terkait rantai pasok pangan. “Banyak produk pertanian dan perikanan kita tidak segar karena tidak ada cold storage. Di Malaysia dan Vietnam, semua hasil peternakan dan perikanan masuk freezer sehingga tetap fresh sampai ke pasar. Kita masih pakai boks es, akibatnya bahan makanan cepat rusak,” jelasnya.

BHS menilai persoalan ini tidak bisa hanya dibebankan kepada BGN. Pemerintah melalui Bapanas dan Satgas Pangan wajib memastikan mutu pangan, mulai dari peternakan, perikanan, hingga distribusi ke pasar. “Ayam yang dipotong malam hari bisa membusuk hanya dalam empat jam jika tidak disimpan di pendingin. Begitu pula ikan nelayan yang baru sampai ke darat setelah 10 jam, sudah tidak segar. Jadi yang harus diperbaiki bukan hanya dapurnya, tapi juga rantai penyedia pangan,” tegasnya.

Ia menambahkan, perbedaan keterampilan antarjuru masak di dapur MBG tidak boleh dijadikan kambing hitam. Menurutnya, inti permasalahan terletak pada kualitas bahan baku. Karena itu, koordinasi lintas lembaga mutlak diperlukan. “BGN memang leading sector, tetapi Bapanas bertanggung jawab penuh terhadap gizi dan mutu makanan yang disajikan. Satgas Pangan juga wajib turun tangan untuk memastikan semua berjalan baik,” kata legislator asal Jawa Timur I itu.

Pada akhirnya, BHS menegaskan program MBG bukan hanya soal pemenuhan gizi, tetapi juga upaya mencegah obesitas, meningkatkan kecerdasan anak bangsa, serta memperkuat daya saing generasi muda. “Kalau kita lalai, bonus demografi 2036 bisa berubah menjadi bencana. Karena itu, MBG harus dijalankan serius dengan melibatkan semua komponen lembaga pangan di Indonesia,” pungkasnya.