Batam, – Dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) tahun 2019, terungkap potensi pendapatan atas Uang Wajib Tahunan (UWT) yang telah jatuh tempo sampai dengan tanggal 31 Desember 2019 pada Direktorat Pengelolaan Lahan sebesar Rp151.011.842.049,00 tidak segera dapat diperoleh.

UWT ini seharusnya diperoleh BP Batam dari pemberian alokasi lahan kepada pengguna lahan yang memenuhi syarat. Alokasi lahan ini dapat diperpanjang hingga 20 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan masa hak pengelolaan hingga 30 tahun jika syarat-syarat tertentu terpenuhi, termasuk pembayaran kewajiban keuangan kepada BP Batam dan pembangunan fisik sesuai perencanaan tata ruang.

Tentu saja, temuan ini menjadikan BP Batam jadi sorotan terlebih pada tahun sebelumnya BPK telah mengungkapkan masalah serupa pada tahun 2018 dengan potensi UWT sebesar Rp174.619.228.150,88 telah jatuh tempo per 31 Desember 2018. BPK telah merekomendasikan agar BP Batam meningkatkan upaya dalam memantau, mengevaluasi, dan menertibkan penggunaan alokasi lahan yang telah jatuh tempo, serta mengoptimalkan upaya penagihan kepada pengelola lahan yang UWT-nya telah jatuh tempo.

Namun, hasil pemeriksaan atas pendapatan UWT tahun 2019 menunjukkan bahwa BP Batam belum sepenuhnya menindaklanjuti rekomendasi BPK. Kantor Pengelolaan Lahan belum melakukan upaya penagihan kepada pengelola lahan yang UWTnya telah jatuh tempo, tindak lanjut yang dilakukan berupa pelayanan mobile yang lebih fokus pada sosialisasi dan kemudahan pengurusan dokumen izin peralihan hak dan perpanjangan UWT.

“BP Batam melakukan inventarisasi data alokasi lahan yang jatuh tempo sampai dengan 31 Desember 2019 menggunakan sistem GIS. Hasilnya, menunjukkan 168 penetapan lokasi telah jatuh tempo seluas 3.132.006 m2. Atas 168 penetapan lokasi tersebut, masih terdapat 137 pemegang alokasi lahan wajib bayar UWT dengan luas lahan sebanyak 2.324.310 m2 yang telah jatuh tempo dan belum dilakukan pengajuan permohonan perpanjangan alokasi lahan dengan petensi pendapatan telah jatuh tempo tersebut adalah sebesar Rp151.011.842.049,00”, demikian bunyi LHP BPK atas Laporan Keuangan BP Batam tahun 2019.

Hasil konfirmasi BPK dengan Kepala Seksi Penataan Penggunaan Lahan menunjukkan bahwa Bidang Evaluasi Lahan dan Pembangunan memiliki monitoring lahan yang berbeda dengan monitoring UWT dari Bagian Keuangan. Bidang Evaluasi Lahan dan Pembangunan tidak memonitoring secara khusus atas UWT yang telah jatuh tempo, namun lebih fokus pada evaluasi atas tanah yang terlantar. Selain itu, sebagaimana yang diatur pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang pedoman penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas perumahan dan pemukiman di daerah, maka atas alokasi lahan tersebut perlu dilakukan pengukuran kembali di lapangan untuk mengetahui secara pasti luas alokasi lahan diluar prasarana, sarana, dan utilitas perumahan dan potensi nilai UWT yang sebenarnya.

Persoalan tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013, dan Peraturan Kepala BP Batam Nomor 27 tahun 2017.

Permasalahan ini mengakibatkan BP Batam belum dapat memperoleh dan
memanfaatkan potensi pendapatan atas UWT yang telah jatuh tempo sampai dengan 31 Desember 2019 sebesar Rp151.011.842.049,00.

BPK menyimpulkan hal tersebut disebabkan Kepala BP Batam kurang optimal dalam mengawasi, mengendalikan, dan menertibkan aset, Direktur Pengelolaan Lahan kurang optimal mengoordinasikan, mengevaluasi, mengawasi dan mengendalikan penggunaan lahan yang sudah jatuh tempo, dan kurangnya kesadaran para penerima alokasi lahan untuk melakukan perpanjangan atas alokasi lahan yang telah jatuh tempo.

Atas permasalahan tersebut BP Batam menyatakan sependapat dan akan menindaklanjuti sesuai rekomendasi. BPK merekomendasikan Kepala BP Batam meningkatkan pengawasan, pengendalian, dan penertiban atas alokasi lahan yang telah jatuh tempo sesuai ketentuan yang berlaku. BPK juga meminta BP Batam memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada para pengguna alokasi lahan yang telah jatuh tempo namun tidak mau membayar UWT.