Denpasar – Mencuatnya isu miring dugaan adanya pemerasan Rp1,8 miliar dilakukan oknum anggota polisi Ditkrimsus Polda Bali guna menutup kasus penambangan ilegal Galian C di kabupaten Buleleng dibantah pihak Polda Bali.
Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan menyebut, berita itu belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Ia juga menegaskan, Propam Polda Bali sudah merespon tudingan itu dan memeriksa terduga oknum dimaksud.
“Polda Bali juga telah melakukan klarifikasi terhadap pelapor. Dari hasil pemeriksaan terduga oknum anggota dimaksud. Kejadian itu, berdasarkan laporan sepihak dari keluarga tersangka. Sampai sekarang dugaan pemerasan tersebut belum bisa dibuktikan,” ungkap Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan dalam keterangan rilis diterima wartawan di Denpasar, Sabtu (09/12/2023)
Jansen berharap masyarakat tidak mudah terpancing dan percaya terhadap berita yang tidak benar alias hoaks.
“Polda Bali saat ini masih tetap melakukan penyidikan terkait permasalahan ini,” pungkas Jansen.
Diberitakan sebelumnya di beberapa media, Seorang polisi berinisial Kompol H di Bali diduga melakukan percobaan pemerasan sebesar Rp1,8 miliar. Dugaan tersebut diungkap seorang warga bernama Nunuk Purwandari Rahayu Ningsih (54).
Pasalnya anak Nunuk, Leviana Adriningtyas (26) diketahui menjadi tersangka dalam kasus dugaan perizinan tambang ilegal Galian C, yang berlokasi di Banjarasem, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali.
Leviana sebagai Direktur PT Sancaka Mitra Jaya, yang beralamat di Denpasar. Kompol H yang bertugas di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Bali itu diduga meminta Rp1,8 miliar agar tersangka lolos dari jeratan hukum.
“Yang menyampaikan itu, satu orang (Kompol H). Dan di Kompol H sempat terjadi negosiasi kepada klien kami. Dan klien kami sempat mengajukan penawaran dari permintaan 10 persen atau sekitar Rp1,8 miliar, klien kami sudah sempat meminta keringanan senilai Rp500 juta tapi ditolak. Kemudian, dinaikkan sama klien kami Rp700 juta, juga tidak mau, jadi ada dua kali penawaran,” kata kuasa hukum tersangka Leviana, I Wayan Sudarma di Denpasar, Bali, Jumat (8/12).
Kasus ini berawal saat perusahaan Leviana memenangkan tender penambangan di empat titik di tahun 2020 dan sudah beroperasi dan izinnya masih berlaku. Lalu, dalam perjalanannya di Bulan Maret 2020, izin penambangan Galian C milik kliennya pun mati.
“Setelah itu izin perusahaan ini kan mati, izin ini kemudian diurus sampai ke Jakarta melalui proses OSS (Online Single Submission). Karena ada peraturan terbaru di mana izin pertambangan mineral non-logam dialihkan ke provinsi,” ujarnya.
“Awalnya kan pusat, yang mana provinsi harus bersinergi dengan pemerintah daerah. Sehingga pemerintah daerah berkewajiban membangun regulasi atau payung hukum dari kegiatan pertambangan mineral non-logam itu,” lanjutnya.
Lalu pada tanggal 24 Oktober 2023, kliennya diduga didatangi polisi untuk melakukan pemeriksaan terhadap izin pertambangan mineral itu.
Kemudian, Leviana sudah menyampaikan bahwa izinnya masih dalam proses dan sudah menunjukkan bukti-bukti proses izin penambangan. Namun pada tanggal 26 Oktober 2023, orang tua dari tersangka Nunuk Purwandari Rahayu Ningsih dan M Adrijanto Kristiono diminta hadir ke salah satu ruangan di Ditreskrimsus Polda Bali.
“Klien kami diminta hadir ke salah satu ruangan di Ditreskrimsus Polda Bali. Terjadi percakapan antara klien kami berdua dengan salah satu oknum berpangkat Kompol H, yang mana dalam percakapan itu mengarah kepada dugaan percobaan pemerasan,” ujarnya.
“Dalam percakapan itu, yang saya tangkap adalah adanya kehendak dari si oknum Kompol H ini meminta, bahasanya dia tidak bilang meminta, tapi arahnya dia ingin mendapatkan bagian 10 persen dari nilai proyek. Yang mana nilai proyek yang diterima klien kami itu senilai Rp18,4 miliar,” jelasnya.
Dalam percakapan dengan Kompol H, kliennya atau orang tua tersangka sempat merekam perbicangan soal dugaan pemerasan tersebut.
“Kami memiliki fakta yang riil. Salah satunya adalah percakapan antara klien kami dengan oknum kompol H ini yang durasi rekamannya 13 menit 4 detik,” jelasnya.
Selanjutnya pada tanggal 16 November 2023, Leviana sudah ditetapkan sebagai tersangka dan pada tanggal 18 November 2023 diterbitkan surat panggilan tersangka. Namun, pada tanggal 19 November 2023 tersangka Leviana mengalami kecelakaan sehingga harus dirawat di RSUP Sanglah hingga tanggal 24 November 2023.
Kemudian, tanggal 30 November 2023 tersangka Leviana mendatangi Ditkrimsus Polda Bali untuk
memenuhi penyidikan sebagai tersangka yang tertunda dan langsung dilakukan penangkapan dan
penahanan.
“Tanggal 16 November 2023 ditetapkan tersangka atas dugaan melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin. Ada dua sebenarnya, yang pertama menggunakan BBM bersubsidi, tapi tidak terbukti karena mereka bisa menunjukkan bukti karena mereka menggunakan BBM industri. Itu gugur. Dan yang mereka cari ini (oknum polisi) adalah melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin,” ujarnya.
Sementara, tersangka dirawat di RS Bhayangkara, Denpasar, karena depresi. Untuk uang Rp1,8 miliar yang diminta tidak bisa dibayarkan karena hanya diberikan waktu empat hari.
“Belum (disetor Rp1,8 miliar). Karena apa, karena (dikasih) waktu empat hari klien kami untuk memenuhi itu,” ujarnya.
Sudarma juga menduga dengan tidak menyetor Rp1,8 miliar itu maka kliennya ditetapkan tersangka dan ditahan. “Dugaan kami seperti itu,” ujarnya.
Sementara, pihaknya juga menyatakan bahwa selain Kompol H yang diduga melakukan percobaan pemerasan ada juga AKBP U.
Lewat peristiwa tersebut, kliennya juga sudah melaporkan ke pihak Divpropam Mabes Polri.
Tinggalkan Balasan