Gresik – Tingginya disparitas harga gas sebagai bahan baku pupuk kembali menjadi perhatian serius Komisi VII DPR RI. Anggota Komisi VII, Bambang Haryo Sukartono (BHS), mengingatkan bahwa persoalan tersebut dapat mengancam stabilitas produksi pupuk nasional jika tidak segera diatasi pemerintah.
Dalam kunjungan kerja spesifik Komisi VII bersama Kementerian Perindustrian ke PT Pupuk Kujang dan PT Petrokimia Gresik, Jawa Timur, Kamis (20/11/2025), BHS menyoroti fakta bahwa PT Petrokimia Gresik hanya memperoleh 70 persen pasokan gas dengan harga khusus melalui skema Alokasi Gas Pupuk Tertentu (AGPT) sebesar 6 dolar AS per MMBTU. Sementara 30 persen lainnya harus dibeli dengan harga pasar mencapai 16 dolar AS per MMBTU.
“Kalau dirata-rata global, Petrokimia menerima gas sekitar 7 dolar AS. Ini tidak boleh berhenti. AGPT harus tetap berjalan beberapa tahun ke depan. Kekhawatiran kami, pada 2026 AGPT untuk Petrokimia dihentikan. Ini membahayakan ketahanan pangan,” tegasnya.
BHS juga mempertanyakan hasil verifikasi Ditjen Migas mengenai kebutuhan gas Petrokimia Gresik. Menurutnya, kecocokan antara konsumsi gas dan kapasitas alat produksi harus menjadi dasar sebelum pemerintah menambah alokasi baru.
“Kalau verifikasinya sudah sesuai, memang sulit menambah alokasi. Namun Fraksi Gerindra tetap mendorong agar Petrokimia mendapatkan kembali AGPT pada 2026,” ujarnya.
Dalam dialog tersebut, BHS turut menyinggung usulan PT Pupuk Kujang Jawa Barat yang meminta alokasi gas jangka panjang hingga 10 tahun guna menunjang program revitalisasi pabrik. Kepastian pasokan, menurutnya, merupakan fondasi agar pabrik mampu berproduksi secara efisien.
“Kami ingin tahu berapa tahun Petrokimia membutuhkan kepastian untuk modernisasi pabrik,” katanya.
