Padang, – Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumatera Barat (Sumbar) terhadap Pemprov Sumatera Barat yang terbit pada 17 Mei 2023 mengungkap bahwa pengelolaan penyertaan modal Pemprov Sumbar pada PT Andalas Rekasindo Pratama (ARP) tidak tertib. BPK menyimpulkan hal tersebut terjadi karena Gubernur tidak melakukan fungsi pengawasan atas pengelolaan investasi penyertaan modal pada PT ARP, dan Kepala Biro Perekonomian belum melakukan kajian atas aspek keuntungan atau kerugian dalam kelanjutan investasi pada PT ARP dan belum melakukan pengawasan atas aset tanah yang dijadikan investasi pada PT ARP selama masa penangguhan transaksi jual beli tanah PT PIP.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK mengungkap Neraca Pemprov Sumbar per 31 Desember 2022 menyajikan Saldo Penyertaan Modal Pemerintah Daerah (PMPD) ke PT ARP sebesar Rp2.700.750.447,45 yang dicatat berdasarkan metode ekuitas dengan porsi kepemilikan sebesar 50%.

Hasil pengujian atas saldo Penyertaan Modal ke PT ARP per 31 Desember 2022
menunjukkan permasalahan bahwa nilai penyertaan modal yang dilaporkan dalam Neraca Provinsi Sumbar tidak sesuai dengan nilai penyertaan modal menurut laporan keuangan PT ARP, dan ketidakjelasan atas Komposisi Kepemilikan Saham Pemprov Sumbar dalam total modal saham PT ARP.

Pengakuan Modal Disetor Pemprov Sumbar pada PT ARP tidak sesuai dengan perjanjian. Penyertaan Modal Awal Pemprov Sumbar kepada PT ARP adalah berupa tanah seluas 108 Ha yang dinilai sebesar Rp3.000.000.000,00 dengan porsi kepemilikan saham pada PT ARP sebesar 51% sesuai dengan Perda Provinsi Sumbar Nomor 5 Tahun 1995 tanggal 11 Mei 1995 tentang Penyertaan Modal Daerah pada Pihak Ketiga Sebagai Pendiri dalam Pembentukan PT ARP. Namun dalam komposisi kepemilikan saham Pemprov Sumbar pada Laporan Keuangan PT ARP tahun buku 2015 hanya 50%.

Tidak terdapat tambahan setoran modal riil dari Pihak Swasta untuk melengkapi struktur permodalan PT ARP. Pada tahun 1994 PT ARP melakukan joint venture dengan JTP membentuk PT PIP untuk mengelola kawasan industri sesuai dengan Joint Venture Agreement tanggal 9 Agustus 1994. Setoran modal PT ARP dalam bentuk joint venture kepada PT PIP berupa tanah seluas 108 Ha yang dinilai sebesar Rp5,4 miliar merupakan penyertaan modal Pemprov Sumbar kepada PT ARP.

BPK juga mengungkap bahwa fungsi pengendalian dan pengawasan Pemprov Sumbar atas penyertaan modal pada PT ARP melalui RUPS belum memadai.

Atas capaian laba pada PT ARP sejak tahun 2015 – 2018, Pemprov Sumbar sebagai pemilik saham belum sepenuhnya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan investasi daerah pada PT ARP melalui penyelenggaraan RUPS setiap tahunnya, termasuk didalamnya keputusan terkait pembagian dividen dari PT ARP kepada pemilik saham.

Berdasarkan keterangan dari Direktur PT ARP diketahui bahwa RUPS diadakan pertama kali pada Tahun 1995 saat periode awal pendirian. Selanjutnya RUPS diadakan kembali pada tahun 1999 dan 2016. Dalam RUPS tahun 2016, Laporan Keuangan PT ARP dinyatakan tidak diterima, sehingga tidak terdapat keputusan atas pembagian dividen bagi pemilik saham PT ARP.

Setelah tahun 2016, RUPS tidak pernah dilakukan khususnya setelah terbitnya Laporan Hasil Audit Investigatif BPKP atas Penyertaan Modal Pemprov Sumbar pada PT ARPdan PT PIP.

Selanjutnya pengelolaan aset tanah dalam rangka penyertaan modal Pemprov Sumbar kepada PT ARP tidak memadai. Hasil pemeriksaan atas kondisi tahun 2022, reviu atas Laporan Hasil Audit Investigatif BPKP, serta prosedur konfirmasi BPK kepada Direktur PT ARP, menunjukkan beberapa permasalahan yaitu PT ARP menjadikan penyertaan modal Pemprov Sumbar sebagai bagian penyertaan modal kepada PT PIP.

Kemudian temuan paling mengejutkan ternyata PT PIP menjual aset yang bukan miliknya yaitu lahan Pemprov seluas 108 Ha telah disetorkan oleh PT ARP sebagai bagian Penyertaan Modal PT ARP di PT PIP sejak tahun 1995.

BPK menemukan adanya pelepasan bagian tanah penyertaan modal untuk pembangunan jalan tol. Berdasarkan hasil konfirmasi kepada Direktur Operasional PT PIP pada 10 April 2023, diketahui bahwa dari tanah seluas 108 Ha yang merupakan Penyertaan Modal dari PT ARP, telah terdapat sekitar 3,9 Ha yang telah dibebaskan untuk digunakan sebagai jalan tol lintas Sumatera. Namun, tarif ganti rugi yang dibayarkan oleh negara hanya sebesar Rp50.000,00/m2, sedangkan NJOP tanah pada saat itu sudah mencapai Rp300.000,00/m2. Atas hal tersebut, PT PIP belum mau menerima ganti rugi tersebut, dan mengajukan gugatan ke PTUN. Namun gugatan tersebut dikalahkan. Adapun saat ini, diketahui sedang dalam proses konsinyasi di pengadilan negeri.

Tak tanggung – tanggung audit BPK juga mengungkap pengalihan HGB kepada pihak-pihak lain dalam periode moratorium PT PIP. Berdasarkan Laporan BPKP diketahui bahwa atas lahan seluas 108 Ha tersebut telah dipecah menjadi lima persil dengan status HGB dengan uraian, HGB Nomor 4 seluas 0,32 Ha, HGB Nomor 1 seluas 0,20 Ha, HGB Nomor 273 seluas 0,65 Ha, HGB Nomor 5 seluas 0,75 Ha, dan HGB Nomor 274 seluas 106,07 Ha.

Berdasarkan hasil konfirmasi kepada Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Padang Pariaman diketahui bahwa atas HGB tersebut diatas sebagian telah dikonversi dengan uraian HGB Nomor 4 seluas 0,32 Ha, dikonversi menjadi HGB No.1658/Nagari Kasang an PT PIP, HGB Nomor 1 seluas 0,20 Ha, dikonversi jadi HGB No. 1661/Nagari Kasang an PT PIP, dan HGB Nomor 5 seluas 0,75 Ha, dikonversi jadi HGB No. 1660/Nagari Kasang an PT PIP.

Selanjutnya, atas HGB Nomor 274 telah dijual kepada tujuh perusahaan yaitu PT PG, PT UIP, PT PP, PT ALP, PT JC, PT SJ, dan PT STP. HGB ini juga telah dikonversi menjadi beberapa sertifikat. Kegiatan peralihan HGB tersebut tidak diperkenankan untuk dilakukan dikarenakan saat itu PT PIP sedang dalam proses moratorium, yaitu larangan melakukan transaksi jual beli yang diputuskan melalui surat DPRD Provinsi Sumatera Barat.

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan, Permendagri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah, Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya, dan Surat Anggota DPRD Nomor 162/176/Um-2014 perihal Penangguhan Transaksi Jual Beli Tanah PT PIP tanggal 18 Maret 2014.

Hal tersebut mengakibatkan Pemprov Sumatera Barat tidak memiliki pengendalian atas bukti kepemilikan yang tidak berpedoman pada Perda dan tidak memiliki kejelasan terkait komposisi saham yang berpengaruh terhadap pengakuan laba/rugi tahun berjalan pada nilai Penyertaan Modal Akhir pada PT ARP setiap tahunnya. Penyertaan modal pada PT ARP sebesar Rp2.700.750.447,45 tidak dapat diyakini kewajaran saldonya atas perbedaan data yang dilaporkan oleh BUD dalam Laporan Keuangan Tahun 2022 dengan data pada Laporan Keuangan PT ARP dan PT PIP.

Selain itu juga mengakibatkan risiko kehilangan aset berupa tanah seluas 108 Ha yang diinvestasikan, dan risiko tidak memperoleh kontribusi penerimaan pendapatan berupa dividen dan uang pemasukan atas proses perubahan HPL ke HGB dari penjualan lahan oleh PT PIP.

Atas permasalahan tersebut, Gubernur Sumatera Barat melalui Kepala BPKAD dan Kepala Biro Perekonomian menyatakan sependapat dengan temuan BPK dan akan menindaklanjuti dengan melakukan koordinasi kepada Direktur PT ARP dan PT PIP.

BPK merekomendasikan Gubernur Sumatera Barat agar melakukan fungsi pengawasan terhadap direksi perusahaan atas pengelolaan investasi daerah secara periodik melalui dewan komisaris dengan menjadwalkan RUPS supaya menyelesaikan permasalahan investasi pada PT ARP, dan memerintahkan Kepala Biro Perekonomian untuk melakukan kajian/analisis atas aspek keuntungan/kerugian dalam kelanjutan investasi pada PT ARP, dan melakukan inventarisasi dan langkah-langkah pengamanan hukum dan administratif atas Aset Tanah yang dijadikan investasi pada PT ARP selama masa penangguhan transaksi jual beli tanah oleh perusahaan joint venture PT PIP.