Jakarta — Pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) semakin menekan dunia usaha, terutama sektor angkutan penyeberangan. Nilai tukar rupiah yang berada di kisaran Rp16.680 per USD membuat biaya operasional melonjak tajam, sementara tarif layanan belum disesuaikan sejak beberapa tahun terakhir.
Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menyatakan kondisi ini sudah berlangsung lama dan semakin memberatkan pelaku usaha. “Tarif yang berlaku saat ini mengalami kekurangan dari perhitungan HPP sebesar 31,8 persen. Itu dihitung sejak 2019,” kata Ketua Bidang Usaha dan Pentarifan DPP Gapasdap, Rakhmatika Ardianto, Kamis (25/9/2025).
Menurutnya, hampir seluruh komponen perawatan kapal dipengaruhi kurs dolar, mulai dari suku cadang, biaya pengedokan, hingga kebutuhan keselamatan. “Dengan kurs naik, otomatis biaya operasional ikut meroket. Sementara pendapatan stagnan,” ujarnya.
Gapasdap menegaskan, tanpa penyesuaian tarif, standar keselamatan dan kenyamanan penumpang sulit dipenuhi. Mereka sudah melayangkan surat kepada Menteri Perhubungan pada 12 Agustus 2025 untuk meminta realisasi kenaikan tarif, namun hingga kini belum ada respons.
Sambil menunggu, Gapasdap juga berharap adanya insentif berupa pengurangan biaya kepelabuhanan, perpajakan, PNBP, maupun bunga perbankan. “Jika kondisi ini terus dibiarkan, pengusaha kapal akan makin kesulitan mengoperasikan armada. Keselamatan kapal tak bisa dicapai tanpa tarif yang memadai,” tegas Rakhmatika.