SURABAYA — Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara kepada tiga terdakwa dalam kasus pengeroyokan terhadap pengacara Mohammad Tjejep Yasien. Ketiga terdakwa, yaitu Amo Ateng Juliando, Ronaldo Danielo Korway, dan Ade Ardianto Suroso, dinilai terbukti bersalah atas insiden yang terjadi di Depot Nasi Goreng ZHAANG, Griya Kebraon, Surabaya.

Putusan tersebut langsung mendapat reaksi keras dari tim kuasa hukum para terdakwa. Syarifudin Rakib, kuasa hukum ketiga terdakwa, menyebut vonis itu tidak mencerminkan keadilan dan tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan secara objektif.

“Kami bersikukuh bahwa klien kami tidak bersalah. Tidak ada tindakan Kekerasan seperti yang didakwakan Jaksa. Mereka datang kelokasi karena adanya ajakan klarifikasi, bukan untuk melakukan pengeroyokan,” ujar Syarifudin yang akrab disapa Bung Udin, Kamis (3/7/2025).

Syarifudin juga menyoroti pelanggaran prosedural sejak awal penyidikan. Ia menilai, para terdakwa tidak didampingi penasihat hukum saat pemeriksaan di kepolisian, yang melanggar Pasal 56 KUHAP serta yurisprudensi yang berlaku.

“Seharusnya surat dakwaan Jaksa tidak diterima karena hak-hak hukum para terdakwa telah dilanggar sejak awal. Ini mencoreng rasa keadilan,” tegasnya.

Ia juga menyatakan akan membawa perkara ini ke Mahkamah Agung agar mengevaluasi kinerja Ketua Majelis Hakim Jahoras Siringo-Ringgo, yang memimpin jalannya sidang.

Dalam nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025), tim kuasa hukum menyampaikan bahwa para terdakwa hadir di lokasi karena mengikuti “share location” dari korban Tjejep Yasin yang dikirim kepada saksi Nikson Brillyan Maskikit. Mereka tiba sekitar pukul 18.30 WIB, dan maksud kedatangan mereka disebut untuk klarifikasi atas ancaman, bukan penagihan utang sebagaimana narasi jaksa.

Menurut pembelaan, keributan dipicu karena korban Tjejep Yasin enggan duduk saat diminta, dan sempat terjadi dorong-dorongan antara korban dengan Nikson. Kuasa hukum menegaskan tidak ada pemukulan atau kekerasan dengan benda tumpul, dan korban disebut masih sempat melakukan live streaming dan memberi wawancara usai kejadian.

Mereka juga mempersoalkan keabsahan surat visum et repertum yang menjadi dasar dakwaan, karena dibuat sebelum pemeriksaan fisik dilakukan dan dinilai bertentangan dengan Pasal 187 huruf c KUHAP.

Dalam persidangan juga terungkap bahwa beberapa saksi, termasuk saksi korban sendiri, tidak mengenali terdakwa atau menyatakan bahwa para terdakwa bukan pelaku utama pengeroyokan. Hal ini digunakan tim pembela sebagai dasar permohonan pembebasan.

“Satu-satunya tindakan klien kami hanyalah menyuruh korban Tjejep Yasien duduk dengan nada suara yang Tinggi. Tidak pantas disebut sebagai tindakan pengeroyokan,” jelas Bung Udin.

Atas dasar fakta-fakta tersebut, kuasa hukum para terdakwa dalam nota pembelaannys meminta majelis hakim membatalkan seluruh dakwaan, menyatakan BAP tidak sah, dan memerintahkan pembebasan serta pemulihan nama baik ketiga terdakwa.

Tidak terbukti pula bila saksi korban Tjejep Yasin tidak sadarkan diri sejak berangkat dari tempat kejadian perkara sampai tiba di Polrestbes Surabaya, faktanya masih membuat video live streaming dan diwawancarai wartawan,” lanjut Bang Udin.

Surat Visum Et Repetum terbukti dibuat sehari sebelum di periksa dengan kata lain tidak ada pemeriksaan badan luar pada tanggal 13 Januari 2025 pukul 23.00 WIB oleh Rumah Sakit PHC Jl. Prapat Kurung Selatan No. 1 Tanjung Perak Kota Surabaya, sehingga tidak sah dan bertentangan dengan Pasal 187 huruf c Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8 tahun 1981.Surat Visum Et Repertum bukanlah alat bukti tetapi hanya sebagai bukti petunjuk sesuai Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8 tahun 1981.

“Saksi korban Tjejep Yasin, pada tanggal 13 Januari 2025 pukul 23.00 WIB, sedang membuat live Streaming atau rekaman video di depan SPKT Polrestabes Kota Surabaya Jl. Sikatan No. 1 Surabaya, dalam keadaan sehat, bukan dalam keadaan pingsan,” tutup Bang Udin. (firman)