SURABAYA – Sidang perkara dugaan pemalsuan surat yang menyeret nama Soeskah Eny Marwati alias Fransiska Eny Marwati kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (18/6/2025). Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Basuki Wiryawan, menyampaikan tanggapan atas eksepsi terdakwa yang sebelumnya dibacakan pada 16 Juni 2025.
Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Purnomo Hadiyarto, Jaksa Basuki secara tegas menolak seluruh dalil eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum terdakwa. Salah satunya adalah klaim bahwa surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
“Surat dakwaan telah disusun sesuai aturan, lengkap, jelas, dan memuat waktu serta tempat tindak pidana dilakukan, serta ditandatangani secara sah,” kata Basuki.
Jaksa juga membantah argumen kadaluwarsa dalam perkara ini. Menurutnya, pemalsuan surat tidak semata-mata dilihat dari tenggang waktu 12 tahun berdasarkan Pasal 78 dan 79 KUHP, tetapi harus memperhatikan Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan kedaluwarsa dihitung sejak korban atau pihak yang dirugikan mengetahui adanya surat palsu tersebut.
Ia merujuk sejumlah putusan, termasuk Putusan MA No. 103 PK/Pid/2013 dan No. 825 K/Pid/2014, serta Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 261/Pid/2014/PT.Bdg, yang menegaskan bahwa tenggat kedaluwarsa dalam perkara pemalsuan dimulai sejak keberadaan surat palsu diketahui.
Kasus Lama Yang Baru Terbongkar
Perkara ini bermula dari sengketa rumah di Kendalsari Selatan 2, Surabaya, yang terjadi sejak 1995 antara Linggo Hadiprayitno dan sejumlah pihak, termasuk Soeskah Eny Marwati. Sengketa sempat dimenangkan oleh Linggo di tingkat banding pada 1997, namun pada 1999 pihak terdakwa mengajukan kasasi.
Dalam pengajuan kasasi itu, digunakan surat keterangan dari Kelurahan Ngagelrejo yang menyatakan bahwa Soeskah belum menerima salinan putusan banding karena sudah pindah alamat. Surat inilah yang diduga palsu, karena menurut penyidikan, Kelurahan tidak pernah mengeluarkan dokumen tersebut.
Surat tersebut menjadi dasar diterimanya kasasi oleh Mahkamah Agung pada 4 Juli 2003, yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dan menggugurkan hak hukum Linggo atas rumah tersebut.
Baru pada Januari 2017, Linggo melaporkan dugaan pemalsuan ini ke Polda Jatim. Jaksa berpendapat bahwa pelaporan masih dalam tenggat hukum karena kerugian akibat surat palsu baru diketahui saat itu.
“Perbuatan terdakwa telah nyata-nyata menimbulkan kerugian hukum bagi korban,” ujar Jaksa dalam persidangan. Terdakwa didakwa melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat.
Kuasa Hukum Terdakwa Minta Bukti Materiil Diungkap
Sementara itu, usai sidang, Boyamin Saiman dan Aris Eko Prasetyo selaku kuasa hukum terdakwa menyampaikan keberatan atas dakwaan. Mereka meminta majelis hakim membuka dan menelaah dokumen kontra memori kasasi perdata No. 2791 K/Pdt/2000.
Menurut Boyamin, dokumen tersebut dapat membuktikan bahwa pelapor, Linggo, sudah mengetahui keberadaan surat tersebut sejak tahun 1999. Artinya, perhitungan daluwarsa seharusnya dimulai sejak saat itu.
“Jika surat itu dianggap palsu, harus ada pembanding dan dilakukan uji forensik. Tidak bisa serta-merta menyatakan palsu tanpa pembuktian ilmiah,” tegas Boyamin.
Pihaknya juga mengisyaratkan kesiapan untuk membuktikan keabsahan surat yang dipermasalahkan jika perkara ini dilanjutkan ke tahap pembuktian pokok perkara. (firman)