Ternate – Kota Ternate, Maluku Utara menjadi kota dengan ancaman pemerkosaan tertinggi, data yang diolah cermat dari Unit perlindungan Anak dan Perempuan (PPA) Polres Ternate terdengar miris.

Pada tahun 2018, Polres Ternate mencatat ada sebanyak 2 kasus pemerkosaan, pencabulan 3 kasus, persetubuhan anak dibawah umur 4 kasus, totalnya 9 kasus yang dilaporkan ke Polres Ternate. Sekaligus menjadi yang tertinggi di wilayah Maluku Utara.

Sementara mengenai trend peningkatan kasus konvensional naik sebesar 87% ditambah dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pada 2017, oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) melakukan pemerkosaan pada anak usia 15 tahun, dalam kasus itu korban diperkosa secara paksa dibelakang rumah pelaku di malam hari, kasus ini pun langsung dilaporkan keluarga ke Polres Ternate.

Sementara, Desember 2018 lalu, kasus yang menonjol yakni seorang siswi SMP diperkosa 3 rekannya yang masih berusia belasan tahun. Kasus ini terjadi dibilangan Ternate Selatan, 3 orang dipenjara akibat perbuatannya.

Masih ramai dibicarakan publik, pada Maret 2019, seorang ayah memperkosa anaknya hingga hamil 5 bulan, kasus yang terjadi di dufa-dufa ini menyorot mata pengguna sosial media, lantaran kasus itu telah berlangsung selama 7 tahun.

Korban, bunga (16) baru bisa mengaku kepada neneknya setelah dipaksa menceritakan mengenai kondisi fisik bunga yang berbeda, bunga pun menjawab bahwa dirinya telah dihamili ayahnya sendiri.

“Saat ini pelaku dijerat Pasal 76D, Pasal 81 Ayat 3 atau Pasal 76E Juncto, Pasal 82 Ayat 2 UU Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara.” Demikian Kapolsek Ternate Utara, Iptu Ambo Wellang, Rabu (13/3)

Data dari Komnas Perempuan, seperti dinukil kumparan.com menyebutkan sekitar 71 persen kekerasan dialami perempuan terjadi pada ranah privat alias dilakukan oleh orang terdekatnya sendiri.Ini menunjukkan, ruang privat yang seharusnya menjadi tempat aman justru tidaklah aman.

Sejalan hal itu, Pemerintah kota Ternate diminta proaktif untuk melindungi warganya dari ancaman pemerkosaan, lantaran juga terkait dengan visi-misi kota Ternate sebagai kota Religius.

Dosen Sosiologi di Universitas Terbuka Ternate, Budi Sahabu menyebutkan Fungsi kontrol pemerintah, sangat lemah. Pemerintah sebagai kelas atas menurutnya harus bekerja sama dengan pihak kesultanan. “Ini upaya pencegahan dari aspek budaya,” ucapnya.

Budi juga mengkritisi peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang konsen terhadap isu perempuan dan anak yang dinilai belum maksimal menunjukkan peranya. Jelasnya.