Kolase: Aktivis Mahasiswa Undiksha Singaraja, Putu Esa Purwita (kiri) dan Kantor LABHI Bali (Dok pribadi/Suara Denpasar)
Denpasar – Munculnya desakan meningkatkan pengaduan masyarakat (dumas) menjadi laporan polisi terkait penutupan Kantor Hukum Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali di Jl. Badak Agung Utara Blok C1 Denpasar, dianggap melecehkan puri dan adanya intervensi terhadap kepolisian.
Aktivis Mahasiswa Undiksha Singaraja, Putu Esa Purwita, menilai desakan agar kasus dumas menjadi laporan polisi terlalu mengada-ada. Kerja polisi imbuhnya, bersifat mandiri alias tak dapat diintervensi dari pihak luar.
”Kita tahu kerja polisi itu bersifat mandiri dan profesional, justru menjadi tanda tanya jika diintervensi dari luar. Kepolisian tentunya mengatensi kasus Badak Agung ini secara matang, tidak tergesa-gesa sehingga tak terjebak penggiringan opini,” kata Esa yang juga Ketua Pengurus Daerah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PD KMHDI) Bali, ini kepada awak media Rabu (16/8/2023).
Sepengetahuannya, tindakan penyegelan hanya dapat dilakukan atas perintah pengadilan. Sebaliknya jika tak ada perintah pengadilan, maka menjadi sumir tuduhan yang dimaksud.
”Apalagi saya baca di media massa dalam penutupan itu tak ada tanda segel, hanya ditutup dengan triplek. Menurut saya hal seperti itu bukanlah penyegelan,” kata Esa.
Termasuk kata dia, adanya unsur dan tuduhan premanisme dalam kasus tersebut, sepanjang bisa dibuktikan sah-sah saja secara hukum.
”Polisi di sini punya domain, apakah yang dituduhkan memenuhi unsur, misalnya adanya pengancaman dan tindakan kekerasan dan lainnya silakan saja dibuktikan,” tandas Esa.
Dirinya mengaku tergelitik dengan adanya tuduhan pemerasan oleh pihak Puri Denpasar yang konon untuk membayar biaya pelebon (kremasi) alm Raja IX Denpasar, Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan alias Tjok Samirana belum lama ini.
Menurut Esa, Puri Denpasar yang notabene keluarga kerajaan diyakini tak akan melakukan pemerasan. Pasalnya kata dia, justru Raja Denpasar banyak memberikan hibah lahan untuk kepentingan umum dan fasilitas publik di Kota Denpasar.
”Terlalu berlebihan jika Puri Denpasar dituduh memeras, apalagi disebut untuk biaya pelebon, kita tahu keluarga kerajaan tidak mungkin kekurangan biaya untuk pengabenan alm Ida Tjokorda. Justru tuduhan itu melecehkan kewibawaan puri,” tegas aktivis mahasiswa asal Buleleng ini.
Karena itu pihaknya mengimbau polisi tidak terpengaruh dengan berkembangnya opini seolah-olah polisi lamban bekerja sebagai aparat hukum.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, AA Ngurah Mayun Wiraningrat, SE alias Turah Mayun, selaku salah seorang putra Raja Denpasar IX, membantah dituduh telah melakukan pemerasan dan mengerahkan preman terkait penyegelan Kantor Lembaga Advokasi Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) di Jalan Badak Agung Utara, di Blok C1, Renon Denpasar.
Pihaknya menyatakan wajib meluruskan agar pemberitaan menjadi berimbang.
Kata Esa lagi, penyegelan kantor hukum tak akan dilakukan jika I Made ”Ariel” Suardana selaku pihak kedua, mewujudkan hasil kerjanya sesuai yang telah tertuang dalam perjanjian.
Toh faktanya tegas Esa, pihak puri bukanlah aparat yang berwenang menyegel. Tindakan itu menurutnya, hanya menutup pintu untuk mengingatkan Ariel Suardana dan istrinya agar memenuhi kewajibannya mewujudkan pemecahan lahan di Badak Agung sesuai yang tertuang dalam perjanjian kedua pihak.
Di mana pihak kedua (Made Suardana) berkewajiban mengurus pemecahan lahan laba (aset) Pura Merajan Satria seluas 12 hektar sudah dimohonkan sertifikat oleh almarhum, Tjokorda Ngurah Mayun Samirana (sebelum jadi raja) pada tahun 1991 terdiri dari 32 sertifikat.
Sebelumnya dalam pemberitaan di media menyebutkan pemilik Kantor Hukum LABHI Made “Ariel” Suardana mendesak kepolisian untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus yang ia sebut penyegelan dan aksi premanisme.
Karena itu Direktur LABHI Bali Made Suardana resmi mengirimkan surat langsung ke Kapolda Bali yang ditembuskan kepada Jajaran Mabes Polri di Jakarta.
“Kurang apalagi saya pelapor sudah melapor terus malah berikan pendapat hukum karena saya penegak hukum. Bagaimana kalau yang bukan penegak hukum apa mau dibeginikan, kenapa saya harus teriak kepada Kapolda Bali karena beliau pimpinan wilayah keamanan di Bali dan Kapolresta itu bawahannya,” ungkapnya kepada wartawan di Denpasar, Rabu (16/8/2023).
Suardana juga mengaku mengirimkan tujuh halaman legal opinion (pendapat hukum) ditambah bukti-bukti kejadian.
“Apabila nggak ada progress (perkembangan) saya rencana mau bertemu langsung Mahfud MD selaku Ketua Kompolnas dan juga Menkopolhukam biar terang. Sekaligus nanti mau adukan masalah ini ke Komisi 3 DPR RI,” tandas Made Suardana.
Tinggalkan Balasan