SURABAYA – Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Kamis (22/5/2025) melaksanakan eksekusi pengosongan lahan Pasar Asem Payung yang berlokasi di Jalan Gebang Lor 42, Kelurahan Gebang Putih, Kecamatan Sukolilo. Eksekusi ini dilakukan berdasarkan penetapan Nomor 62/EKS/2024/PN.Sby tertanggal 6 Mei 2025, yang merujuk pada putusan perdata berjenjang: Nomor 961/Pdt.G/2018/PN.Sby, Nomor 158/PDT/2020/PT.SBY, dan Nomor 1685 K/Pdt/2021 dari Mahkamah Agung—semuanya telah berkekuatan hukum tetap.

Ferry Isyono, juru sita PN Surabaya, memimpin langsung jalannya eksekusi. Ia menjelaskan, pelaksanaan dilakukan atas permohonan resmi dari Pemerintah Kota Surabaya melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).

Meskipun berlangsung tanpa perlawanan dari pihak termohon, proses eksekusi tetap berjalan dengan penjagaan ketat dari aparat Polrestabes Surabaya dan Satpol PP. Suasana sempat ramai, namun para pedagang yang sehari-hari beraktivitas di pasar telah menghentikan kegiatan mereka sejak pagi, usai menerima pemberitahuan sebelumnya.

Kuasa hukum Pemkot Surabaya, Setiyo Busono, menegaskan bahwa eksekusi dilakukan untuk mengembalikan fungsi lahan sebagaimana peruntukannya. “Tanah ini akan dikembalikan seperti fungsinya semula, untuk kepentingan umum, dalam hal ini pasar,” tegas Setiyo.

Di sisi lain, kuasa hukum pihak termohon, Mochamad Mas’ud, yang mewakili Fatchul Nadim, ahli waris dari H.M. Rowi Dahlan menyatakan pihaknya memilih menghormati keputusan hukum dengan tidak melakukan perlawanan fisik.

“Kita hormati dengan tidak melakukan perlawanan. Namun, kami tetap menempuh upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali dan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ujar Mas’ud.

Mas’ud mempertanyakan keabsahan penguasaan lahan oleh Pemkot Surabaya. Ia menuding proses pengukuran lahan tidak akurat dan menyebut ada kekeliruan batas wilayah saat konstatering lapangan.

“Ukurnya salah, luasannya salah. Batas yang ditunjukkan Pemkot hanya sebatas pagar. Padahal menurut data desa, batas sebenarnya mencakup hingga ke luar pagar,” ucapnya.

Ia juga mengkritisi dasar administrasi yang digunakan Pemkot, yakni pencatatan aset melalui Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (SIMBADA).

“Sistem ini seharusnya mencatat aset yang sudah dikuasai, bukan sebaliknya, menemukan lahan lalu mencatatnya. Ini cacat prosedur,” tegas Mas’ud.

Dengan tuntasnya eksekusi ini, Pemerintah Kota Surabaya mengisyaratkan rencana penataan kembali area tersebut sebagai bagian dari program revitalisasi fasilitas umum. Namun, dinamika hukum diprediksi masih akan berlanjut, seiring upaya hukum lanjutan dari pihak ahli waris.