Ilustrasi pertikaian warga dipicu isu pertentangan SARA (Freepik)

Buleleng – Mencuatnya sengketa lahan, diklaim sebagai tanah adat didaftarkan oleh ratusan warga Banjar Kauman Desa Pengastulan hendak disertifikatkan menjadi hak milik, belakangan dikabarkan difasilitasi kepala desa setempat melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) berpotensi memunculkan konflik baru.

Pasalnya, warga Banjar Kauman diketahui sebagian besar adalah umat Muslim, sementara berhadapan dengan desa adat yang identik dengan budaya adat Hindu Bali. Perbedaan keadaan identitas ini bisa saja dibenturkan oknum tertentu dalam Suku, Agama, Ras dan Antargolongan atau SARA.

Jro Komang Sutrisna, SH selaku penasihat hukum Desa Adat Pengastulan menyampaikan, bahwa persoalan ini adalah murni kasus hukum dalam ranah administrasi perdata dan pidana. Pihaknya berharap, jangan sampai ada oknum tertentu melakukan tindakan menjurus menimbulkan pertentangan SARA yang menjadikan suasana tidak kondusif.

“Perkara ini murni kasus hukum, jangan diseret terkait SARA dan politik yang menimbulkan suasana tidak kondusif. Sengketa ini ada di ranah hukum perdata, pidana dan administrasi,” tegas Jro Sutrisna kepada wartawan di Aula Balai Banjar Adat Pengastulan, Seririt Buleleng, Rabu (15/08/2023)

Selanjutnya, dalam perkembangan kasus gugatan PTSL di Desa Pengastulan, menurut Jro Sutrisna, pihaknya mengaku telah memiliki catatan historis yang jelas terkait lahan disengketakan hingga muncul menjadi awig-awig (peraturan tertulis desa adat-red) Desa Adat Pengastulan.

“Setelah saya melihat warkahnya ternyata ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemohon. Seperti pengakuan sporadik penguasaan lahan. Seharusnya ada tanda tangan jro bandesa, itu tidak ada. Begitu juga, ada berapa akta jual beli tidak relevan dengan waktu dan umur prinsipal yang ditandatangani perbekel atau kepala desa sekarang secara sepihak. Ya, nanti akan kita buka di pengadilan,” ungkapnya.

Salah satu warga adat Desa Pengastulan, Ni Luh Gede Purnamawati, S.H, Mkn, MH yang juga berprofesi sebagai Notaris/PPATK kepada wartawan menyampaikan, sebagai pihak mendengar kasus ini akan tetap mengawal proses hukum sudah dilakukan Tim Pengacara Taksu Bali dan LBH Bali Metangi.

Ia selaku warga Adat Pengastulan mengaku sedikit was-was, jika tanah jalur melasti (upacara agama penyucian pratima pura dan pengambilan air suci di laut) di lahan disengketakan, disertifikatkan atas nama pribadi.

“Apa yang terjadi jika tanah jalur melasti (bersembahyang) itu atas nama pribadi. Saya ingin menyelamatkan untuk ke depan dan masa depan anak anak dan cucu kita. Dan saya juga berterima kasih kepada krama desa dalam kejadian ini begitu tenang dan kondusif,” ucapnya.

Purnamawati terlihat sangat sedih dan kecewa. Begitu gampangnya warga mengajukan PTSL kepada pemerintah dan pihak terkait asal terima tanpa melakukan pengecekan mendalam turun ke lapangan.

“Dengan kejadian ini saya sangat merasa sedih dan kecewa. Begitu gampangnya dari pihak warga mengajukan PTSL kepada pemerintah. Begitu gampangnya menerima dokumen yang belum tentu benar. Seharusnya ke depan pemerintah dalam penyertifikatan PTSL harus terjun. Dicek langsung, tanah desa adat, tanah pribadi atau tanah negara. Itu harus dicek semua,” singgungnya.

Ia meminta kepada warga Desa Pengastulan atau warga yang merantau, supaya memberi dukungan serta masukan agar Desa Pengastulan tetap aman dan nyaman terutama dalam kegiatan sosial keagamaan.

“Saya ingin agar desa kita ini aman. Untuk diketahui solidaritas kita di desa ini sudah berpuluh-puluh tahun sudah terjalin, karena masalah ini menjadi kacau karena pancingan-pancingan pihak tertentu,” pungkas Purnamawati.

Untuk diketahui dalam berita sebelumnya, dikonfirmasi terpisah terkait adanya gugatan tersebut, Perbekel Pengastulan Putu Widyasmita menyatakan menepis semua tuduhan disampaikan pihak penggugat (Desa Adat Pengastulan, red)

“Apa yang ada dalam gugatan itu semua tidak benar. Selaku perbekel saya menjalankan tugas melayani semua warga yang ber-KTP Desa Pengastulan,” tulisnya saat dihubungi melalui pesan WhatsApp (WA).

Ia beralasan selaku kepala desa dia mempertanyakan apakah salah pihaknya menandatangani surat-surat yang diperlukan dalam rangka permohonan sertifikat atas bidang-bidang tanah tertentu oleh warga Desa Pengastulan.

“Permohonan sertifikat hak milik atas bidang tanah yang dikuasai secara turun-temurun selama lebih dari 20 tahun itu adalah hak setiap warga negara,” kilah Putu Widyasmita.

Hal itu itu tentu menurutnya diajukan sesuai dengan mekanisme dan persyaratan yang ditentukan oleh BPN sebagai wakil negara di tingkat kabupaten/kota.

“Nah, tugas tiyang (saya, red) semestinya sudah selesai dan BPN yang punya kewenangan dalam konteks penerbitan sertifikat apabila sudah sesuai dengan ketentuan, terus di mana letak tiyang melawan hukum?” tanyanya.

Kendati begitu, karena kasus ini sudah bergulir ke ranah hukum, pihaknya siap menyampaikan fakta-fakta dalam persidangan nanti.